Sabtu, 06 Juli 2013

Kebudayaan Dog-dog Lojor Banten





1. Pengertian Dog

Dogdog Lojor merupakan untaian dua kata, yaitu dogdog dan lojor. Dogdog merupakan alat musik tabuh yang terbuat dari batang kayu yang berongga dengan bulatan berdiameter 15 cm dan ujungnya mengecil berdiameter antara 12-13 cm, sedangkan panjangnya lebih kurang 90 cm hingga 100 cm. Pada ujung bulatan yang berdiameter 15 m itu ditutup dengan kulit kambing yang telah dikeringkan, kemudian diikat dengan tali bambu dan dipaseuk / baji untuk mengencangkan kulit tersebut, sehingga kalau dipukul Akan mengeluarkan suara dog.. dog.. dog. Akhirnya disebutlah alat musik itu dogdog. Sedangkan lojor (bahasa Sunda dialek Banten) berarti `panjang'. Biasanya dogdog yang ;mum panjangnya berukuran antara 30 — 40 cm. Dogdog lojor mempunyai panjang 90 -100 cm. Jadi, dogdog lojor adalah dogdog yang panjang.


2. Fungsi Kesenian Dog-Dog Lojor

Upacara Seren Taun, Upacara Sedekah, Upacara Ruwatan, syukuran 40 hari bayi lahir, dan Upacara Ngabaladah `pembukaan' ladang baru dan upacara perkawinan, adalah upacara yang selalu diiringi demean seni dogdog lojor ini.
Masyarakat Banten khususnya masyarakat Baduy mempunyai upacara-upacara yang dianggap sakral dan magis, seperti upacara di atas. Di sini dogdog lojor sangat berperan karena seni ini dianggap seni yang buhun dan mengandung nilai-nilai magis.
Seni dogdog lojor dapat dijadikan sarana ungkapan rasa syukur, ungkapan penolak bala, dan ungkapan persembahan, atau bahkan ungkapan rasa kegembiraan. Semua dapat dilihat dalam upacara yang laksanakannya. Namun dalam perkembangan dewasa ini seni dogdog lojor memudar, dari seni yang dianggap sakral dan magis menjadi seni hiburan yang kapan dan di mana saja dapat dipertunjukkan.


3. Pemain dan Waditra
 
Pemain yang diperlukan dalam seni ini berjumlah minimal 12 orang yang terdiri atas 4 orang pemain dogdog dan 8 orang pemain angklung; yang dibagi menjadi dua kelompok demean jumlah orang yang sama. Para pemain tidak dimonopoli oleh kaum pria saja, kini demean perkembangan jaman maka perempuan pun bisa memainkan seni ini. Waditra yang dipergunakan dalam permainan ini adalah dogdog dan angklung.


4. Jalannya Permainan
 
Diawali pukulan dogdog sebagai aba-aba bagi pemain angklung, maka permainan ± 1 mulai pada pukulan dogdog pakpak pong, pak……………. Pak……. pong, serempak pemain angklung membunyikan angklungnya dengan membawakan lagu "Kacang Buncis" atau "Tongeret".

Kacang Buncis

Cis kacang buncis nyengcle
Ti anggolati kuda
Nu geulis tembong pingping
Keun bae jang kaula
Cis kacang buncis nyengcle
Kembang cengek nu mencenges
Nu geulis keur ngalewe
Dasar awewe jerenges

Tongeret

Tongeret tong
Tongeret tong kerrmiiiii
Tamiang dibeulahan dibeulahan
Awewe wantererrrrrrrrrrrr Awewe wantereriiiiiiirrrr Ngajak kawin kaduaan kaduaan
Biasanya instrumen "Tongeret" adalah irama dasar yang terus-menerus mengiringi permainan seni dogdog lojor ini.
Permainan dogdog lojor ini terdiri atas :

Ucing-ucingan

Oray-orayan
Ngadu bedug / dogdog
Ngadu domba
Ngadu jalan
Berbagai permainan waditra di atas, menimbulkan berbagai macam gerak para mainnya sehingga terlihat sangat dinamis demean teriakan hoyah para pemainnya. :gitu pula demean lincah mereka memainkan angklung dan dogdog dalam berbagai rakan tadi.
Beberapa istilah permainan ini yang sama permainan dogdog lojor yang ada di Jawa Barat :
Angklung Buncis daerah Priangan
Angklung Gubrag daerah Bogor
Bedug Lojor daerah Banten Selatan dan Utara
Angklung Bungko daerah Cirebon
Badeng Badud daerah Priangan sebelah utara
Wilayah penyebaran dogdog lojor ini berada di Banten selatan, yaitu Bayah, carucuk, Ciherang, Cisungsang, Cisitu,Citokek, Cinangka, dan Kanekes Baduy, juga di Lkabumi khususnya di Sirnaresmi dan Ciptarasa Cisolok.
Tokoh yang berjasa dalam pengembangan seni dogdog lojor adalah :
Di Kecamatan Cibeber Kabupaten Lebak :
Bapak Oco
Bapak Mansyur
Bapak Okri
Pasir Nangka Kabupaten Lebak :
Panji Wulung
UPEC pimpinan bapak Uhen Cikotok.

Kebudayaan Masyarakat Baduy

Orang Kanekes atau orang Baduy adalah suatu kelompok masyarakat adat Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Sebutan “Baduy” merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau “orang Kanekes” sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo.

Wilayah kanekes bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung. Tidak heran bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa sunda dialek Sunda-Banten. Namun mereka juga lancar menggunakan Bahasa Indonesia ketika berdialog dengan penduduk luar. Suku Baduy sendiri terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping, dan dangka (Permana, 2001).

Kelompok tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Baduy Dalam. Yaitu kelompok Baduy yang paling ketat mengikuti adat mereka. Terdapat tiga kampung pada kelompok Baduy dalam yaitu: Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Ciri khas orang Baduy Dalam adalah mereka mengenakan pakaian yang berwarna putih alami dan biru tua serta mengenakan ikat kepala putih. Kelompok yang kedua adalah Baduy Luar atau dikenal sebagai kelompok masyarakat panamping. Yang berciri mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam.



Dan tersebar mengelilingi wilayah Baduy Dalam seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Lain halnya kelompok ketiga disebut dengan Baduy Dangka, mereka tinggal di luar wilayah Kanekes tidak seperti Baduy Dalam dan Luar. dan saat ini hanya 2 kampung yang tersisa yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kepercayaan Suku Baduy atau masyarakat kanekes sendiri sering disebut dengan Sunda Wiwitan yang berdasarkan pada pemujaan nenek moyang (animisme), namun semakin berkembang dan dipengaruhi oleh agama lainnya seperti agama Islam, Budha dan Hindu. Namun inti dari kepercayaan itu sendiri ditunjukkan dengan ketentuan adat yang mutlak dengan adanya “pikukuh” ( kepatuhan) dengan konsep tidak ada perubahan sesedikit mungkin atau tanpa perubahan apapun.
Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. masyarakatnya mengunjungi lokasi tersebut dan melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan kalima. Hanya ketua adat tertinggi puun dan rombongannya yang terpilih saja yang dapat mengikuti rombongan tersebut. Di daerah arca tersebut terdapat batu lumping yang dipercaya apa bila saat pemujaan batu tersebut terlihat penuh maka pertanda hujan akan banyak turun dan panen akan berhasil, dan begitu juga sebaliknya, jika kering atau berair keruh pertanda akan terjadi kegagalan pada panen. Mata pencaharian masyarakat Baduy adalah bertani dan menjual buah-buahan yang mereka dapatkan dari hutan. Selain itu Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba yang masih rutin diadakan setahun sekali dengan mengantarkan hasil bumi kepada penguasa setempat yaitu Gubernur Banten. Dari hal tersebut terciptanya interaksi yang erat antara masyarakat Baduy dan penduduk luar.

Ketika pekerjaan mereka diladang tidak mencukupi, orang Baduy biasanya berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan berjalan kaki, umumnya mereka berangkat dengan jumlah yang kecil antara 3 sampai 5 orang untuk mejual madu dan kerajinan tangan mereka untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Perdagangan yang semula hanya dilakukan dengan barter kini sudah menggunakan mata uang rupiah. Orang baduy menjual hasil pertaniannya dan buah-buahan melalui para tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.

Provinsi Banten memiliki masyarakat tradisional yang masih memegang teguh adat tradisi yaitu Suku Baduy yang tinggal di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak. Perkampungan masyarakat Baduy pada umumnya terletak pada daerah aliran sungai Ciujung di Pegunungan Kendeng – Banten Selatan. Letaknya sekitar 172 km sebelah barat ibukota Jakarta; sekitar 65 km sebelah selatan ibukota Provinsi Banten.

Masyarakat Baduy yang menempati areal 5.108 ha (desa terluas di Provinsi Banten) ini mengasingkan diri dari dunia luar dan dengan sengaja menolak (tidak terpengaruh) oleh masyarakat lainnya, dengan cara menjadikan daerahnya sebagai tempat suci (di Penembahan Arca Domas) dan keramat. Namun intensitas komunikasi mereka tidak terbatas, yang terjalin harmonis dengan masyarakat luar, melalui kunjungan.
Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, masyarakat yang memiliki konsep inti kesederhanaan ini belum pernah mengharapkan bantuan dari luar. Mereka mampu secara mandiri dengan cara bercocok tanam dan berladang (ngahuma), menjual hasil kerajinan tangan khas Baduy, seperti Koja dan Jarog (tas yang terbuat dari kulit kayu Teureup); tenunan berupa selendang, baju, celana, ikat kepala, sarung serta golok/parang, juga berburu.

Masyarakat Baduy bagaikan sebuah negara yang tatanan hidupnya diatur oleh hukum adat yang sangat kuat. Semua kewenangan yang berlandaskan kebijaksanaan dan keadilan berada di tangan pimpinan tertinggi, yaitu Puun. Puun bertugas sebagai pengendali hukum adat dan tatanan hidup masyarakat yang dalam menjalankan tugasnya itu dibantu juga oleh beberapa tokoh adat lainnya. Sebagai tanda setia kepada Pemerintahan RI, setiap akhir tahun suku yang berjumlah 7.512 jiwa dan tersebar dalam 67 kampung ini mengadakan upacara Seba kepada “Bapak Gede” (Panggilan Kepada Bupati Lebak) dan Camat Leuwidamar. Pemukiman masyarakat Baduy berada di daerah perbukitan. Tempat yang paling rendah berada pada ketinggian 800 meter di atas permukaan laut. Sehingga dapat dibayangkan bahwa rimba raya di sekitar pegunungan Kendeng merupakan kawasan yang kaya akan sumber mata air yang masih bebas polusi. Lokasi yang dijadikan pemukiman pada umumnya berada di lereng gunung, celah bukit serta lembah yang ditumbuhi pohon-pohon besar, yang dekat dengan sumber mata air. Semak belukar yang hijau disekitarnya turut mewarnai keindahan serta kesejukan suasana yang tenang. Keheningan dan kedamaian kehidupan yang bersahaja.

Kebudayaan Debus


Mungkin semua masyarakat Indonesia sudah tahu bahwa salah satu budaya Nusantara itu antara lain adalah Seni Debus. Debus adalah seni budaya daerah Banten. Seni Budaya Debus Banten ini sudah sangat dikenal di mancanegara, bukan karena orang asing melihat di televisi akan tetapi karena Debus sudah berkali-kali dikirim keluar negeri sebagai duta negara atau dalam rangka promosi kepariwisataan. Di Banten sendiri penampilan atraksi seni debus sering di pertontonkan di depan para wisatawan asing yang sengaja datang untuk melihat langsung dari dekat.
Ketika saya masih kecil hingga remaja, sering sekali menyaksikan atraksi debus ini apabila ada masyarakat sekitar yang hajatan pernikahan atau khitanan memanggil Grup Debus (istilahnya nanggap debus). Hampir setiap orang hajat hiburannya di siang hari adalah nanggap debus. Terkadang, pada siang harinya debus dan pada malam harinya ubrug (Seni Sunda Banyolan/lawakan, kalau di daerah Jawa mungkin Ketoprak). Seni Ubrug terkikis oleh tradisi nanggap film layar tancap. Tradisi nanggap Wayang Golek sudah lebih dulu hilang dari peredaran. Tidak terlalu lama, tradisi nanggap film layar tancap pun terkikis oleh Organ Tunggal atau Dangdut. Hingga hari ini tradisi nanggap organ tunggal belum tergantikan oleh tradisi atau seni lainnya, masih eksis. Seiring dengan perubahan dan perkembangan jaman itulah, lambat laun debus semakin tersingkirkan oleh tradisi-tradisi baru itu. Kini, saya sendiri tidak setahun sekali bisa melihat seni budaya debus. Namun sanggar budaya debus itu sendiri tidak pernah mati, karena masih tetap dipelihara secara turun-temurun. Debus kapan saja bisa dipanggil untuk pentas. Lalu siapa sih, pemain debus Itu ? 

A. Latar Belakang
Dahulu, peran jawara yang masih dekat dengan kesaktian adalah permainan debus. Permainan debus ini banyak dilakukan oleh para jawara, yang dianggap sudah memiliki kesaktian yang cukup. Jadi tidak semua jawara dapat melakukan permainan debus, karena bagi yang tidak mampu justru akan mendatangkan bencana atau kecelakaan.


B. Macam-Macam Debus
 Di Banten ada beberapa macam debus, yakni debus al-madad, surosowan dan langitan. Dinamakan debus al-madad (artinya meminta bantuan atau pertolongan) karena para pemainnya setiap kali melakukan aksinya selalu mengucapkan kata-kata al-madad, yang seolah menggambarkan bahwa tindakan ini didasarkan atas pertolongan dari Allah SWT. Debus al-madad merupakan debus yang paling berat karena untuk melakukan permainan ini khalifahnya (pemimpin group) harus melakukan amalan yang sangat panjang dan berat. Amalan-amalan khalifah debus ini diambil dari tarekat Rifa’iyah atau Qodariyah. Sehingga seseorang yang mendapat ijazah untuk menjadi khalifah dari permainan debus ini adalah mereka yang telah dianggap mampu atau lulus menempuh suatu perjalanan panjang dalam mengamalkan suatu do’a-do’a tertentu, melaksanakan puasa dan meditasi lama.
Sedangkan, debus surosowan adalah permainan debus yang tidak memerlukan kemampuan yang tinggi. Karena itu, permainan debus ini bisa dilakukan oleh para remaja. Nama “Surosowan” berkaitan dengan nama istana Kesultanan Banten. Nampaknya semenjak awal debus ini memang ditujukan untuk pertunjukan di Istana Surosowan pada masa Kesultanan Banten bukan untuk mendapatkan kesaktian. Hal ini berbeda dengan debus al-madad yang selain dipergunakan untuk pertunjukan juga dipergunakan untuk kesaktian atau pengobatan.
Adapun, debus langitan adalah pertunjukan debus yang mempergunakan anak-anak remaja yang dijadikan obyek sasaran benda-benda tajam tanpa yang bersangkutan merasa sakit atau menderita luka-luka. Permainan debus langitan ini pun nampaknya ditujukan hanya untuk permainan belaka, bukan untuk mendapatkan kekebalan tubuh atau kesaktian.

Rampak Bedug Banten

A. Pengertian Rampak Bedug 
 
Kata “bedug” sudah tidak asing lagi bagi telinga bangsa Indonesia. Bedug terdapat di hampir setiap masjid, sebagai alat atau media informasi datangnya waktu shalat wajib 5 waktu. Demikian juga dengan seni bedug semacam ngabedug atau ngadulag sudah akrab di telinga bangsa kita, khususnya lagi bagi telinga kaum muslimin. Rampak bedug hanya terdapat di daerah Banten sebagai ciri khas seni-budaya Banten. Kata “Rampak” mengandung arti “Serempak”. Jadi “Rampak Bedug” adalah seni bedug dengan menggunakan waditra berupa “banyak” bedug dan ditabuh secara “serempak” sehingga menghasilkan irama khas yang enak didengar.
“Rampak Bedug” dapat dikatakan sebagai pengembangan dari seni bedug atau ngadulag. Bila ngabedug dapat dimainkan oleh siapa saja, maka “Rampak Bedug” hanya bisa dimainkan oleh para pemain profesional. Rampak bedug bukan hanya dimainkan di bulan Ramadhan, tapi dimainkan juga secara profesional pada acara-acara hajatan (hitanan, pernikahan) dan hari-hari peringatan kedaerahan bahkan nasional. Rampak bedug merupakan pengiring Takbiran, Ruwatan, Marhabaan, Shalawatan (Shalawat Badar), dan lagu-lagu bernuansa religi lainnya.
B. Latar Belakang 
 
Rampak bedug pertama kali dimaksudkan untuk menyambut bulan suci Ramadhan, persis seperti seni ngabedug atau ngadulag. Tapi karena merupakan suatu kreasi seni yang genial dan mengundang perhatian penonton, maka seni rampak bedug ini berubah menjadi suatu seni yang layak jual, sama dengan seni-seni musik komersial lainnya. Walau para pencetus dan pemainnya lebih didasari oleh motivasi religi, tapi masyarakat seniman dan pencipta seni memandang seni rampak bedug sebagai sebuah karya seni yang patut dihargai.
Rampak bedug selain berfungsi religi, yakni menyemarakan bulan suci Ramadhan dengan alat-alat yang memang dirancang para ulama pewaris Nabi , juga memiliki fungsi rekreasi/hiburan. Tentu saja berbeda dengan ngabedug, rampak bedug memiliki fungsi ekonomis, yakni suatu karya seni yang layak jual. Masyarakat pengguna sudah biasa mengundang seniman rampak bedug untuk memeriahkan acara-acara mereka. Dalam fungsi religi selain menyemarakan Tarawihan adalah sebagai pengiring Takbiran dan Marhabaan.
C. Pemain Rampak Bedug dan Fungsinya 
 
Di masa lalu pemain rampak bedug terdiri dari semuanya laki-laki. Tapi sekarang sama halnya dengan banyak seni lainnya terdiri dari laki-laki dan perempuan. Mungkin demikian karena seni rampak bedug mempertunjukkan tarian-tarian yang terlihat indah jika ditampilkan oleh perempuan (selain tentunya laki-laki). Jumlah pemain sekitar 10 orang, laki-laki 5 orang dan perempuan 5 orang. Baik pemain laki-laki maupun perempuan sekaligus juga sebagai penari.
Waditra rampak bedug terdiri dari : Bedug besar, berfungsi sebagai Bass yang memberikan rasa puas ketika mengakhiri suatu bait sya’ir dari lagu. Ting tir, terbuat dari batang pohon kelapa, berfungsi sebagai penyelaras irama lagu bernuansa spiritualis (takbiran, shalawatan, marhabaan, dan lain-lain). Anting Caram dan Anting Karam terbuat dari pohon jambe dan dililiti kulit kendang berfungsi sebagai pengiring lagu dan tari.
Busana yang dipakai oleh pemain rampak bedug adalah pakaian Muslim dan Muslimah yang disesuaikan dengan perkembangan zaman dan unsur kedaerahan. Pemain laki-laki misalnya mengenakan pakaian model pesilat lengkap dengan sorban khas Banten, tapi warna-warninya menggambarkan kemoderenan: hijau, ungu, merah, dan lain-lain (bukan hitam atau putih saja). Adapun pemain perempuan mengenakan pakaian khas tari-tari tradisional, tapi bercorak kemoderenan dan relatf religius. Misalnya menggunakan rok panjang bawah lutut dari bahan batik dengan warna dasar kuning dan di dalamnya mengenakan celana panjang warna merah jenis celana panjang pesilat. Di luarnya mengenakan kain merah tanpa dijahit yang bisa dililitkan dan digunakakan untuk semacam tarian selendang. Banyunya tangan panjang yang dikeluarkan dan diikat dengan memakai ikat pinggang besar. Adapun rambutnya mengenakan sejenis sanggul bungan yang terbuat dari rajutan benang semacam penutup kepala bagian belakang.
Pada awalnya seni rampak bedug dipentaskan untuk mengiringi Takbiran di hari Lebaran. Kemudian berkembang juga untuk acara ruatan dan Marhabaan. Sekarang malah berkembang lagi sebagai seni profesional untuk mengisi hiburan dalam acara hajatan pernikahan, khitanan, dan peringatan hari-hari nasional maupun kedaerahan. Lagu-lagu yang diiringinya pun berkembang, diantaranya Shalawat Badar dan lagu-lagu bernuansa religi lainnya.

Catatan Perjalanan Indies





Saya ada di lokasi keberangkatan pukul  07.00 pagi bersama dengan dosen. Tapi memulai  berangkatnya sekitar pukul setengah 8 pagi karena menunggu teman yang belum datang.Pertama saya memfoto Gereja yang ada di daerah pasar Rangkasbitung kemudian saya lanjut memfoto jalan Multatuli Rangkasbitung. Setelah itu saya dan rombongan Teman STKIP menyusuri jalan Multatuli.Sepanjang perjalanan saya memfoto tempat tempat yang di duga sebagai bangunan zaman Belanda dan peninggalan Multatuli di Rangkasbitung. Di tengah perjalanan Saya dan rombongan STKIP Setia Budhi sempat singgah di tempat Rumah dinas para pegawai PT KAI daerah Rangkasbitung. Di sana Saya sempat mewawancarai Petugas penjaga tempat bangunan itu.
Setelah itu saya lanjut lagi berjalan menuju rumah peniggalan Multatuli di Rumah sakit Umum Rangkasbitung. Di tengah perjalan saya Memfoto Gedung Juang dan saya beserta rombingan juga mampir di LP Rangkasbitung.Lanjut saya menuju Rumah peninggalan Multatuli yang ada di Rumah sakit Umum Rangkasbitung.
Terus lanjut lagi perjalanan menuju bangunan peninggalan zaman Belanda yang ada di kawasan Makam Pahlawan  di sana saya memfoto bangunan peniggalan pada zaman Belanda yang berupa Tower Air.Setelah dari situ saya dan Teman STKIP lanjut menuju stasiun Rangkasbitung.Di sana sya melakukan dokumentasi berupa foto stasiun Rangkasbitung dan bangunan tua bekas pabrik minyak yang ada di kawasan Bedeng Rangkasbitung.
Setelah itu saya dan teman STKIP Setia budhi menuju kembali ke kampus STKIP Setia Budhi yang ada di kawasan Komplek Pendididkan jalan Setia budhi.Sesampainya  di kampus saya kumpul bersama teman yang lain Kita semua beristirahat di saung sambil menyantap mie ayam yang di sediakan oleh dosen. Selesai makan kita semua berpisah pulang setelah melakukan perjalanan menyusuri jejak peninggalan Multatuli di Rangkasbitung. Biarpun terasa lelah karena melakukan perajalanan mengelilingi Rangkasbitung tapi ini meninggalkan kenangan bagi saya pribadi.
















Teori - Teori Kebudayaan

1. Teori Evolusionisme

Teori evolusi merupakan buah filsafat materialistik yang muncul bersamaan dengan kebangkitan filsafat-filsafat materialistik kuno dan kemudian menyebar luas di abad ke 19. Seperti telah disebutkan sebelumnya, paham materialisme berusaha menjelaskan alam semesta melalui faktor-faktor materi.
Karena menolak pencipta, pandangan ini menyatakan bahwa segalah sesuatu, hidup ataupun tak hidup, muncul tidak melalui pencipta tetapi dari sebuah peristiwa kebetulan yang kemudian mencapai kondisi teratur. Akan tetapi, akal manusia sedemikian terstruktur sehingga mampu memahami keberadaan sebuah kehendak yang mengatur di mana pun ia menemukan keteraruran.

Filsafat materialistis, yang bertantangan dengan karakteristik paling mendasar akal manusia ini, memunculkan “ teori evolusi” di pertengahan abad ke 19. Serta Teori Evousi telah menjadi pondasi sebuah filsafat yang menyesatkan sebagian besar manusia.

Namun demikian, Charles Darwin adalah ilmuwan pertama yang mencetuskan teori evolusi yang telah banyak terbukti menghadapi pengujian ilmiah. Sampai saat ini, teori Darwin mengenai evolusi yang terjadi karena seleksi alam dianggap oleh mayoritas komunitas sains sebagai teori terbaik dalam menjelaskan peristiwa evolusi. Darwin melengkapi teori evolusinya dengan menerapkan prinsip yang sama dengan asal-usul spesies kepada asal-usul manusia dan memberikan tempat kepada manusia melakukan proses evolusi dalam rangka seleksi alam dan mempertahankan eksistensinya di alam.
Sangat sulit untuk meninggalkan teori Darwinisme yang sudah berusia lebih dari 150 tahun, tetapi dalam ilmu pengetahuan yang terus berkembang, tak terkecuali teori Darwin yang sudah melegenda itu, serta dapat dibuktikan dengan penelitian terbaru seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi.

Karena ilmu pengetahuan saat ini, berkembang sangat pesatnya, bukan hanya hitungan tahun dan bulan, bahkan bisa dalam hitungan hari dan bahwa teori evolusi ini hanyalah sebuah kebohongan.


2. TEORI FUNGSIOANALISME MENURUT EMILE DURKHEIM

Teori fungsionalisme adalah suatu bangunan teori yang paling besar pengaruhnya dalam ilmu sosial di abad sekarang. Tokoh-tokoh yang pertama kali mencetuskan fungsional yaitu August Comte, Emile Durkheim dan Herbet Spencer. Pemikiran structural fungsional sangat dipengaruhi oleh pemikiran biologis yaitu menganggap masyarakat sebagai organisme biologis yaitu terdiri dari organ-organ yang saling ketergantungan, ketergantungan tersebut merupakan hasil atau konsekuensi agar organisme tersebut tetap dapat bertahan hidup. Sama halnya dengan pendekatan lainnya pendekatan structural fungsional ini juga bertujuan untuk mencapai keteraturan sosial.

Teori struktural fungsional ini awalnya berangkat dari pemikiran Emile Durkheim, dimana pemikiran Durkheim ini dipengaruhi oleh Auguste Comte dan Herbert Spencer. Comte dengan pemikirannya mengenai analogi organismik kemudian dikembangkan lagi oleh Herbert Spencer dengan membandingkan dan mencari kesamaan antara masyarakat dengan organisme, hingga akhirnya berkembang menjadi apa yang disebut dengan requisite functionalism, dimana ini menjadi panduan bagi analisis substantif Spencer dan penggerak analisis fungsional. Dipengaruhi oleh kedua orang ini, studi Durkheim tertanam kuat terminology organismik tersebut.

Durkheim mengungkapkan bahwa masyarakat adalah sebuah kesatuan dimana di dalamnya terdapat bagian – bagian yang dibedakan. Bagian-bagian dari sistem tersebut mempunyai fungsi masing – masing yang membuat sistem menjadi seimbang. Bagian tersebut saling interdependensi satu sama lain dan fungsional, sehingga jika ada yang tidak berfungsi maka akan merusak keseimbangan sistem. Pemikiran inilah yang menjadi sumbangsih Durkheim dalam teori Parsons dan Merton mengenai struktural fungsional. Selain itu, antropologis fungsional-Malinowski dan Radcliffe Brown juga membantu membentuk berbagai perspektif fungsional modern.

Durkheim berpikir bagaimana masyarakat dapat mempertahankan integritas dan koherensinya di masa modern, ketika hal-hal seperti latar belakang keagamaan dan etnik bersama tidak ada lagi. Untuk mempelajari kehidupan sosial di kalangan masyarakat modern, Durkheim berusaha menciptakan salah satu pendekatan ilmiah pertama terhadap fenomena sosial. Bersama Herbert Spencer Durkheim adalah salah satu orang pertama yang menjelaskan keberadaan dan sifat berbagai bagian dari masyarakat dengan mengacu kepada fungsi yang mereka lakukan dalam mempertahankan kesehatan dan keseimbangan masyarakat, suatu posisi yang kelak dikenal sebagai fungsionalisme.
Teori fungsionalisme yang menekankan kepada keteraturan bahwa masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada suatu bagian akan membawa perubahan pula terhadap bagian yang lain, dengan kata lain masyarakat senantiasa berada dalam keadaan berubah secara berangsur-angsur dengan tetap memelihara keseimbangan. Setiap peristiwa dan setiap struktur yang ada, fungsional bagi sistem sosial itu. Demikian pula semua institusi yang ada diperlukan oleh sistem sosial itu, bahkan kemiskinan serta kepincangan sosial sekalipun. Masyarakat dilihat dari kondisi dinamika dalam keseimbangan. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur dalam sistem sosial, fungsional terhadap yang lain. Sebaliknya jika tidak fungsional maka struktur itu tidak akan ada atau akan hilang dengan sendirinya.

Durkheim juga menekankan bahwa masyarakat lebih daripada sekadar jumlah dari seluruh bagiannya. Dalam bukunya "Pembagian Kerja dalam Masyarakat", Durkheim meneliti bagaimana tatanan sosial dipertahankan dalam berbagai bentuk masyarakat ia memusatkan perhatian pada pembagian kerja dan meneliti bagaimana hal itu berbeda dalam masyarakat tradisional dan masyarakat modern. Ia berpendapat bahwa masyarakat-masyarakat tradisional bersifat 'mekanis' dan dipersatukan oleh kenyataan bahwa setiap orang lebih kurang sama, dan karenanya mempunyai banyak kesamaan di antara sesamanya. Dalam masyarakat tradisional, menurut Durkheim kesadaran kolektif sepenuhnya mencakup kesadaran individual, norma-norma sosial kuat dan perilaku sosial diatur dengan rapi. Sedangkan dalam masyarakat modern, pembagian kerja yang sangat kompleks menghasilkan solidaritas 'organik'. Spesialisasi yang berbeda-beda dalam bidang pekerjaan dan peranan sosial menciptakan ketergantungan yang mengikat orang kepada sesamanya, karena mereka tidak lagi dapat memenuhi seluruh kebutuhan mereka sendiri. Dalam masyarakat yang 'mekanis', misalnya, para petani gurem hidup dalam masyarakat yang swasembada dan terjalin bersama oleh warisan bersama dan pekerjaan yang sama. Dalam masyarakat modern yang 'organik', para pekerja memperoleh gaji dan harus mengandalkan orang lain yang mengkhususkan diri dalam produk-produk tertentu seperti bahan makanan, pakaian, dll untuk memenuhi kebutuhan mereka. Akibat dari pembagian kerja yang semakin rumit ini. Menurut Durkheim bahwa kesadaran individual berkembang dalam cara yang berbeda dari kesadaran kolektif. Seringkali malah berbenturan dengan kesadaran kolektif.

Mengutamakan keseimbangan, dengan kata lain teori ini memandang bahwa semua peristiwa dan struktur adalah fungsional bagi suatu masyarakat. Dimana jika sekelompok masyarakat ingin memajukan kelompoknya, mereka akan melihat apa yang akan d kembangkan dan tetap mempertahankan bahkan melestarikan tradisi-tradisi dan budaya yang sudah berkembang dan menjadikannya sebagai alat modernisasi.
Namun dalam hal ini penganut teori fungsional seringkali mengabaikan variabel konflik dan perubahan sosial dalam analisa mereka, akibatnya mereka seringkali di cap sebagai kelompok konservatif karena terlalu menekankan kepada keteratuan dalam masyarakat dan mengabaikan variabel konflik dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Dalam masyarakat yang beragam kebudayaan akan sangat mudah terjadi konflik, namun teori fungsional akan menjadi garis tengah untuk menjadikan sebuah perbedaan menjadi alat untuk bersatu.

3. Teori Kontak Budaya

Budaya yang lebih tinggi dan aktif akan mempengaruhi budaya yg lebih rendah dan pasif melalui kontak budaya (Malinowski, 1983:21-23). Teori Malinowski ini sangat nampak dalam pergeseran nilai-nilai budaya kita yang condong ke Barat. Dalam era globalisasi informasi menjadi kekuatan yang sangat dahsyat dalam mempengaruhi pola pikir manusia. Budaya barat saat ini diidentikkan dengan modernitas (modernisasi), dan budaya timur diidentikkan dengan tradisional atau konvensional. Orang tidak saja mengadopsi ilmu pengetahuan dan teknologi Barat sebagai bagian dari kebudayaan tetapi juga meniru semua gaya orang Barat, sampai-sampai yang di Barat dianggap sebagai budaya yang tidak baik tetapi setelah sampai di Timur diadopsi secara membabi buta. 

Seorang yang sudah lama menetap di Australia kemudian mudik ke Indonesia, ia tercengang melihat betapa cepatnya perubahan budaya di Indonesia. Ia saat itu bahkan merasa berada di Amerika. Ada beberapa saluran TV yang menayangkan banyak film Amerika yang penuh dengan adegan kekerasan dan seks. Selama beberapa minggu ia berada di tanah air, ia tidak melihat kesenian tradisional yang ditayangkan di TV swasta seperti yang pernah dilihatnya dahulu di TVRI. Ia kemudian sadar bahwa reog, angklung, calung, wayang golek, gamelan, dan tarian tradisional tidak hanya nyaris tidak ditayangkan di TV, tetapi juga jarang sekali dipertontonkan langsung di tengah-tengah masyarakatnya. Sementara itu, ia justru menemukan Mc. Donald’s, Kentucky Fried Chicken, Pizza Hut, dan Dunkin Donuts di sini. Beberapa toserba dan pasar swalayan juga mirip seperti yang ia temukan di luar negeri dengan penataan yang serupa. Kedua tempat berbelanja tersebut bahkan lebih banyak menggunakan petunjuk-petunjuk berbahasa Inggeris, meskipun mayoritas pengunjungnya adalah orang Melayu.

Ia melihat banyak pemuda bergaya masa kini, dengan rambut panjang di buntut kuda, sebelah telinganya beranting, bercelana Levi’s duduk-duduk santai di Mall, seraya meneguk minuman dingin ‘Soft Drink’. Demikian pula pemuda-pemudinya banyak sekali yang hanya menggunakan kaos sepotong yang ketat dan tidak sempat menutup pussarnya, dengan celana panjang yang ketat pula, sedangkan rambutnya disisir dengan gaya semrawut. Di kota-kota besar sudah tumbuh pub-pub, night-club, diskotik dan karaoke yang sangat laris. Restoran-restoran yang menyediakan makanan ala China, dan Eropa.
4. Teori Sinkronisasi dan Tanggapan

Teori Sinkronisasi Budaya (Hamelink, 1983) menyatakan “lalu lintas produk budaya masih berjalan satu arah dan pada dasarnya mempunyai mode yang sinkronik . Negara-negara Metropolis terutama Amerika Serikat menawarkan suatu model yang diikuti negara-negara satelit yang membuat seluruh proses budaya lokal menjadi kacau atau bahkan menghadapi jurang kepunahan. Dimensi-dimensi yang unik dari budaya Nusantara dalam spektrum nilai kemanusiaan yang telah berevolusi berabad-abad secara cepat tergulung oleh budaya mancanegara yang tidak jelas manfaatnya. Ironisnya hal tersebut justru terjadi ketika teknologi komunikasi telah mencapai tataran yang tinggi, sehingga kita mudah melakukan pertukaran budaya.

(Dalam sumber yang sama) Hamelink juga mengatakan, bahwa dalam sejarah budaya manusia belum pernah terjadi lalu lintas satu arah dalam suatu konfrontasi budaya seperti yang kita alami saat ini. Karena sebenarnya konfrontasi budaya dua arah di mana budaya yang satu dengan budaya yang lainnya saling pengaruh mempengaruhi akan menghasilkan budaya yang lebih kaya (kompilasi).

Sedangkan konfrontasi budaya searah akan memusnahkan budaya yang pasif dan lebih lemah. Menurut Hamelink, bila otonomi budaya didefinisikan sebagai kapasitas masyarkat untuk memutuskan alokasi sumber-sumber dayanya sendiri demi suatu penyesuaian diri yang memadai terhadap lingkungan, maka sinkronisasi budaya tersebut jelas merupakan ancaman bagi otonomi budaya masyarakatnya.

5. Teori Tindakan atau Action Theory

Teori tindakan atau action theory (Talcott Parson, E. Shils, Robert K. Merton dan lain-lain). Kebudayaan (berdasarkan teori tindakan ini) terdiri dari empat komponen sebagai berikut Sistem Budaya ‘Culture System’; Sistem Sosial ‘Social System’; Sistem Kepribadian ‘Personality System’; dan Sistem Organik ‘Organic System’.
Sistem Budaya ‘Culture System’ yang merupakan komponen yang abstrak dari kebudayaan yang terdiri dari pikiran-pikiran, gagasan-gagasan, konsep-konsep, tema-tema berpikir dan keyakinan-keyakinan (lazim disebut adat-istiadat).

Di antara adat-istiadat tersebut terdapat “sistem nilai budaya”, “sistem norma” yang secara khusus dapat dirinci dalam berbagai norma menurut pranata yang ada di masyarakat. Fungsi sistem budaya adalah menata dan memantapkan tindakan-tindakan serta tingkah-laku manusia.
 Sistem Sosial ‘Social System’; terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia atau tindakan-tindakan dari tingkah laku berinteraksi antarindividu dalam bermasyarakat. Sebagai rangkaian tindakan berpola yang berkaitan satu sama lain, sistem sosial itu bersifat kongkrit dan nyata dibandingkan dengan sistem budaya (tindakan manusia dapat dilihat atau diobservasi).

Interaksi manusia di satu pihak ditata dan diatur oleh sistem budaya. Namun di lain pihak dibudayakan menjadi pranata-pranata oleh nilai-nilai dan norma tersebut.
 Sistem Kepribadian ‘Personality System’; adalah soal isi jiwa dan watak individu yang berinteraksi sebagai warga masyarakat. Kepribadian individu dalam suatu masyarakat walaupun satu sama lain berbeda-beda, namun dapat distimulasi dan dipengaruhi oleh nilai-nilai dan norma-norma dalam sistem budaya dan dipengaruhi oleh pola-pola bertindak dalam sistem sosial yang telah diinternalisasi melalui proses sosialisasi dan proses pembudayaan selama hidup, sejak kecilnya. Dengan demikian sistem kepribadian manusia berfungsi sebagai sumber motivasi dari tindakan sosialnya.


Dan Sistem Organik ‘Organic System’ melengkapi seluruh kerangka sistem dengan mengikut-sertakan proses biologik dan bio kimia ke dalam organisme manusia sebagai suatu jenis makhluk alamiah. Proses biologik dan biokimia tersebut apabila dipelajari lebih dalam ikut menentukan kepribadian individu, pola-pola tindakan manusia, dan bahkan gagasan-gagasan yang dicetuskan (Koentjaraningrat, 1980: 235-236). Kebiasaan suku Lampung bila menghidangkan tamu yang dihormati, atau kerabat yang dihormati adalah menyuguhkan kepala ikan ‘culture system’.

Budaya ini tidak boleh dipahami dari sudut pandangan orang Jawa atau orang Sunda, di mana kebiasaan kedua suku tersebut apabila memberikan jamuan makan dengan hidangan kepala ikan dianggap sebagai suatu penghinaan ‘social system’. Sebagai ilmuwan kita harus memahami budaya tersebut dari budaya daerah itu sendiri atau dari induk budayanya.

Ikan-ikan yang ada di Lampung adalah ikan-ikan besar dan orang Lampung tidak mau mengkonsumsi ikan yang kecil-kecil, kecuali dibuat terasi atau makanan lainnya. Ikan yang biasa dimakan mereka adalah ikan yang “rasa kepalanya enak”, seperti ikan baung, jelabat, dan sebagainya.

Orang Lampung tidak menghidangkan ikan seperti mujair, gurami, tawes, wader, dan sebagainya untuk menjamu tamu yang dihormati. Maka karena rasa kepala ikan baung, ikan jelabat sangat enak, dan ikannya besar ‘organic system’, maka sangat wajar bila mereka menghidangkan ikan kepada tamunya pada bagian kepalanya. Sebaliknya jenis ikan di Jawa adalah ikan yang kecil-kecil sehingga kalau memberikan suguhan ikan pada kepalanya sama (nilainya) dengan memberi kucing. Oleh karena itu, menjelaskan suatu budaya haruslah dipahami dari budaya (atau sistem budaya yang berlaku) itu sendiri.

6. Theory orientation value of culture teori orientasi nilai budaya

Teori Oreantasi Nilai Budaya ‘Theory Oreantation Value of Culture’. Menurut Kluckhon dan Strodberck soal-soal yang paling tinggi nilainya dalam kehidupan manusia dan yang ada dalam tiap kebudayaan di dunia ini menyangkut paling sedikit lima hal, yakni
  • Human Nature atau makna hidup manusia;
  • Man Nature atau persoalan hubungan manusia dengan alam sekitarnya;
  • Persoalan Waktu, atau persepsepsi manusia terhadap waktu;
  • Persoalan Aktivitas ‘Activity’, persoalan mengenai pekerjaan, karya dan amal perbuatan manusia; dan
  • Persoalan Relasi ‘Relationality’ atau hubungan manusia dengan manusia lainnya.
Dalam kenyataannya selalu beroreantasi pada nilai-nilai Pancasila, karena Pancasila sebagai kristalisasi nilai-nilai luhur kebudayaan bangsa Indonesia ternyata bukan hanya sekedar simbol-simbol, atau slogan dengan rangkaian kata-kata yang indah tetapi memiliki arah berupa nilai yang menjadi oreantasi budaya yang sangat tinggi nilainya, di mana masing-masing sila memuat kelima hal atau sila yang sangat tinggi nilainya. Masing-masing sila memuat makna hidup manusia, makna sosial, hubungan manusia yang satu dengan yang lainnya, dan arah aktivitas yang selalu disinari oleh sila yang pertama, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa.